PENDAHULUAN
Memasuki abad kesembilan belas,
kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi modern telah memasuki dunia Islam, oleh
karena itu dalam sejarah Islam dipandang sebagai fase permulaan periode modern.
Kontak dengan dunia barat mengakibatan terbawanya ide-ide baru ke dunia
Islam seperti rasionalisme, nasionalisme, demokrasi dan sebagainya. Semuanya
itu menimbulkan dialektika pemikiran di tengah problematika baru, sehingga
pemimpin Islampun mulai memikirkan cara mengatasi persoalan-persoalan baru tersebut.
Sebagaimana
halnya di Barat, di dunia Islam juga timbul pemikiran dan gerakan untuk
menyesuaikan paham-paham keagamaan Islam dengan perkembangan baru. Dengan cara
itu pemimpin-pemimpin Islam modern mengharap akan dapat melepaskan ummat islam
dari suasana kemunduran untuk selanjutnya dibawa kepada kemajuan.[1]
Periode modern (1800 M-dan seterusnya)
merupakan zaman kebangkitan Islam. Jatuhnya Mesir ke tangan Barat menginsafkan
dunia Islam akan kelemahannya dan menyadarkan umat Islam bahwa di Barat telah
timbul peradaban baru yang lebih tinggi dan merupakan ancaman bagi Islam.
Raja-raja dan pemuka Islam mulai memikirkan bagaimana meningkatkan mutu dan
kekuatan umat Islam kembali. Pada periode inilah timbul ide-ide pembaharuan
dalam Islam[2]. Salah satu tokoh modern yang melahirkan ide-ide
pembaharuan dalam Islam ini adalah Jamaluddin Al-Afghani.
[1] Harun Nasution, Pembaharuan
dalam Islam : Sejarah Pemikiran dan Gerakan(Jakarta : Bulan
Bintang, 1975, cet. ke-1, h. 10.
|
Jamaluddin
Al-Afghani adalah seorang pemimpin pembaharuan dalam Islam yang tempat tinggal
dan aktivitasnya berpindah dari satu negara Islam ke negara Islam lain, serta
pengaruhnya terbesar ditinggalkannya di Mesir. Dia dikenal sebagai seorang
pembaharu politik di dunia Islam pada abad sembilan belas[3]. Ia juga adalah perintis modernisme Islam, khususnya
aktivisme anti imperialis. Dia terkenal karena kehidupan dan pemikirannya yang
luas, dan juga karena menganjurkan dan mempertahankan sejak 1883, bahwa
persatuan Islam merupakan sarana untuk memperkuat dunia muslim menghadapi barat[4]. Dia pula tokoh yang pertama kali menganjurkan untuk
kembali pada tradisi muslim dengan cara yang sesuai dengan berbagai problem,
mengusik Timur Tengah di abad sembilan belas. Dengan menolak tradisionalisme
murni yang mempertahankan Islam secara
tidak kritis disatu pihak, dan peniruan membabi buta terhadap barat di pihak
lain. Afghani menjadi perintis penafsiran ulang Islam yang menekankan kualitas
yang diperlukan di dunia modern, seperti penggunaan akal, aktivitas politik, serta
kekuatan militer dan politik.[5]
Dalam makalah ini selanjutnya
dipaparkan lebih jauh biografi, pemikiran dan perjuangan Jamaluddin al-Afghani
serta pengaruh yang ditinggalkannya.
A.
BIOGRAFI
JAMALUDDIN AL-AFGHANI
Sayyid Muhammad bin Safdar al-Husayn (1838 - 1897) umumnya dikenal sebagai Sayyid Jamal-Al-Din
Al-AfghaniJamaluddin al-Afghani dilahirkan di As’adabad, dekat
Kanar di Distrik Kabul, Afghanistan, pada tahun 1838 (1254 H).[6] Al-afghani menghabiskan masa kecilnya di Afghanistan,
namun banyak berjuang di Mesir, India bahkan Perancis. Pada usia 18 tahun di
Kabul, Jamaluddin tidak hanya menguasai ilmu keagamaan tetapi juga mendalami
filsafah, hukum, sejarah, metafisika, kedokteran, sains, astronomi dan
astrologi. [7]
Jamaluddin al-Afghani adalah salah seorang pemimpin
pergerakan Islam pada akhir abad ke -19.[8] Sayyid Sand adalah ayah Afghani, yang dikenal dengan
gelar Shadar Al-Husaini. Ia tergolong bangsawan terhormat dan mempunyai
hubungan nasab dengan Hussein Ibn Ali r.a., dari pihak Ali At-Tirmizi, seorang
perawi hadits. Oleh karena itu, di depan nama Jamaluddin al-Afghani diberi
title “Sayyid”.[9] Afghani melanjutkan belajar ke India selama satu tahun.
Di india Afghani menekuni sejumlah ilmu pengetahuan melalui metode modern.
Didorong keyakinannya, ia melanglang buana ke berbagai negara. Dari India, Jamaluddin
melanjutkan perjalanan ke mekkah untuk menunaikan ibadah haji. Sepulangnya ke
Kabul ia diminta penguasa Afghanistan Pangeran Dost Muhammad Khan, untuk
membantunya. Tahun 1864,, ia diangkat menjadi penasehat Sher Ali Khan, dan
beberapa tahun kemudian diangkat menjadi Perdana Menteri oleh Muhammad A’zam
Khan. Namun karena campur tangan Inggris, Jamaluddin akhirnya meninggalkan
Kabul ke Mekkah. Inggris menilai Jamaluddin sebagai tokoh berbahaya karena
ide-ide pembaharuannya, terus mengawasinya.[10]
[8] Harun
Nasution, Pembaharuan Dalam Islam, Sejarah Pemikiran dan Gerakan, Jakarta
: Bulan Bintang, 1975.
|
Di tahun 1864 ia menjadi penasihat Sher Ali Khan.
Beberapa tahun kemudia ia diangkat oleh Muhammad A’zam Khan menjadi perdana
menteri. Ketika itu Inggris sudah ikut campur dalam urusan negeri Afghanistan,
maka Jamaluddin termasuk salah satu orang yang menentangnya. Karena kalah
melawan Inggris ia lebih baik meninggalkan negerinya dan pergi menuju India
pada tahun 1869. Di negeri jiran inipun ia tidak tenang karena karena negeri
itu dikuasai oleh Inggris, maka ia pindah ke Mesir pada tahun 1871. Ia menetap
di Kairo dan menjauhkan urusan politik untuk berkonsentrasi ke bidang ilmiah
dan sastra Arab. Rumah tempat tinggalnya menjadi pusat pertemuan bagi para
mahasiswa, diantaranya adalah Muhammad Abduh.[9]
Di
Mesir Al-Afghani dapat mempengaruhi massa intelektual dengan pikiran-pikiran
barat antara lain mengenai ide trias politika melalui terjemahan bahasa Arab
yang berasal dari bahasa Perancis yang dilakukan oleh At-Tahthawi. Ia berhasil
membentuk Partai Nasional (Al-Hizbu
al-Watani) di
sana dan mendengungkan Mesir untuk bangsa Mesir, memperjuangkan pendidikan
universal, kemerdekaan pers, dan memasukkan unsur-unsur Mesir dalam bidang
militer. Al-Afghani berusaha menumbangkan penguasa Mesir Khadewi Ismail
dan menggantikannya dengan putera mahkota, Tawfiq yang ingin mengadakan
pembaharuan di Mesir. Ttapi setelah Tauwfik berkuasa, ia tidak dapat
melaksanakan programnya, bahkan penguasa baru yang didukung oleh Al-Afghani itu
mengusirnya karena tekanan dari pihak Inggris, tahun 1879.
Pada
tahun 1889, Al-Afghani diundang ke Persia untuk suatu urusan persengketaan
politik antara Persia dengan Rusia yang timbul karena politik pro-Inggris yang
dianut pemerintah Persia ketika itu. Bersamaan dengan itu Afghani
melihat ketidakberesan politik dalam negeri Persia sendiri. Karenanya dia
mengajurkan perombakan sistem politik-nya yang masih otokratis, sehingga timbul
pertikaian antara Al-Afghani dan Syah Nasir al-Din. Pada tahun 1892,
undangan yang sama dari penguasa Turki, Sultan Abdul Hamid, untuk
kepentingan politik Islam Istambul dalam menghadapi kekuatan Erofa.
Menurut Afghani, sebelum menangani politik luar negeri harus dibenahi dahulu
sistem politik dalam negerinya. Rupanya, pandangan politik Afghani yang sangat
demokratis tidak bertemu dengan kepentingan politik Sultan yang otokratis.
Sejak itu sampai akhir hayatnya, 9 Maret 1897, Afghani dicabut izin keluar
negerinya.Kelihatannya Jamaluddin Al-Afghani menjadi tamu terhormat kerajaan
Turki Usmani tetapi hakikatnya ia menjadi tawanan Sultan Abdul Hamid II yang
berdiam di “sangkar emas” istananya. [10]
Melihat kepada kegiatan politik yang
demikian besar dan daerah yang demikian luas, maka dapat dikatakan bahwa
Al-Afghani lebih banyak bersifat pemimpin politik daripada pemimpin dan pemikir
pembaharuan dalam Islam, tetapi kegiatan yang dijalankan Al-Afghani sebenarnya
didasarkan pada ide-idenya tentang pembaharuan dalam Islam.
B.
PEMIKIRAN-PEMIKIRAN
JAMALUDDIN AL-AFGHANI
Al-Afghani berpendapat bahwa
kemunduran umat Islam disebabkan antara lain karena umat telah meninggalkan
ajaran-ajaran Islam yang sebenarnya. Ajaran qada dan qadar telah berubah
menjadi ajaran fatalisme yang menjadikan umat menjadi statis. Sebab-sebab lain
adalah perpecahan di kalangan umat Islam sendiri, lemahnya persaudaraan antara
umat Islam dan lain-lain. Untuk mengatasi semua hal itu antara lain menurut
pendapatnya ialah umat Islam harus kembali kepada ajaran Islam yang
benar, mensucikan hati, memuliakan akhlak, berkorban untuk kepentingan umat,
pemerintah otokratis harus diubah menjadi demokratis, dan persatuan umat Islam
hars diwujudkan sehingga umat akan maju sesuai dengan tuntutan zaman. Ide-ide
pembaharuan dan pemikiran politik Al-Afghani tentang negara dan sistem
pemerintahan adalah sebagai berikut :
1. . Bentuk negara dan pemerintahan
Menurut Al-Afghani, Islam menghendaki
bahwa bentuk pemerintahan adalah republik. Sebab, di dalamnya terdapat
kebebasan berpendapat dan kepala negara harus tunduk kepada Undang-Undang
Dasar. Pendapat seperti ini baru dalam sejarah politik Islam yang selama
ini pemikirnya hanya mengenal bentuk khalifah yang mempunyai kekuasaan absulot.
Pendapat ini tampak dipengaruhi oleh pemikiran barat, sebab barat lebih
dahulu mengenal pemerintahan republik, meskipun pemahaman Al-Afghani
tidak lepas terhadap prinsip-prinsip ajaran Islam yang berkaitan dengan dengan
kemasyarakatan dan kenegaraan.
2. Sistem Demokrasi
Di dalam pemerintahan yang absulot
dan otokratis tidak ada kebebasan berpendapat, kebebasan hanya ada pada
raja/kepala gegara untuk bertindak yan tidak diatur oleh
Undang-undang. Karena itu Al-Afghani menghendaki agar corak pemerintahan
absulot diganti dengan dengan corak pemerintahan demokrasi.
Pemerintahan demokratis merupakan
salah satu identitas yang paling khas dari dari pemerintahan yang berbentuk
republik. Demokrasi adalah pasangan pemerintahan republik sebagaimana
berkembang di barat dan diterapkan oleh Mustafa Kemal Attaturk di Turki sebagai
ganti pemerintahan khalifah. Dalam pemerintahan negara yang demokratis, kepala
negara harus mengadakan syura dengan pemimpin-pemimpin masyarakat yang
berpengalaman karena
pengetahuan manusia secara individual terbatas sekali dan syura diperintahkan
oleh Allah dalam Al-Qur’an agar dapat dipraktekkan dalam berbagai urusan.
3. Pan Islamisme (Solidaritas Islam)
Al-Afghani
menginginkan adanya persatuan umat Islam baik yang sudah merdeka maupun masih
terjajah. Gagasannya ini terkenal dengan Pan Islamisme. Ide besar ini
menghendaki terjalinnya kerjasama antara negara-negara Islam dalam masalah
keagamaan, kerjasama antara kepala negara Islam. Kerjasama itu menuntut adanya
rasa tanggungjawab bersama dari tiap negara terhadap umat Islam dimana saja
mereka berada, dan menumbuhkan keinginan hidup bersama dalam suatu komunitas
serta mewujudkan kesejahteraan umat Islam. Ia
menginginkan agar umat Islam harus mengatasi perbedaan doktrin dan kebiasaan
permusuhan. Perbedaan sekte tidak perlu menjadi hambatan dalam politik, dan
kaum muslimin harus mengambil pelajaran dari contoh Jerman, yang kehilangan
kesatuan nasionalnya karena terlalu memandang penting perbedaan agama. Bahkan
perbedaan besar dalam doktrin wilayah teluk, antara sunni dan syi’ah, dapat
dijembatani sehingga ia menyerukan kepada bangsa Persia dan Afghan
supaya bersatu, meskipun yang pertama adalah syi’ah dan yang kedua adalah
bukan, dan selama masa-masa akhir hidupnya ia melontarkan ide rekonsiliasi umum
dari kedua sekte tersebut.
C. PENGARUH JAMALUDDIN AL-AFGHANI
Seperti
sudah disebutan, Al-Afghani menyuarakan gagasan seperti Pan-Islamisme. Sebenarnya
gagasan seperti itu juga pernah disuarakan oleh Usmaniah Muda, tetapi sangat
kurang pengaruhnya terhadap bangsa-bangsa yang bahasanya bukan turki. Sedangkan
Al-Afghani mempublikasikan tulisan dalam bahasa Arab dan Persia sehingga
penulis-penulis terkemudian banyak menyebutkan bahwa Al-Afghani
merupakan pembaharu internal.
Ide
pembebasan dari kendali barat, merupakan tujuan perjuangan politik Al-Afghani
yang paling populer. Ucapan-ucapan Al-Afghani banyak dikutip oleh kaum modernis
Islam, nasionalis, maupun Islam kontemporer yang mendukung kebebasan seperti
itu. Al-Afghani juga menarik bagi aktivis terkemudian karena kehidupan
politiknya yang luar biasa. Muslim maupun barat pernah memiliki kontak dengan
Al-Afghani. Penulis Barat seperti E.G. Brown dan Wilfred Blunt membuat tulisan
yang isinya membuat pengakuan dan memuji Al-Afghani semakin memperkuat posisi
Al-Afghani di dunia muslim. Fakta bahwa Al-Afghani telah mempesona dan bahkan
berdebat dengan orang-orang barat terkemuka membuat sosok Al-Afghani semakin
penting di mata intelektual muslim. Akhirnya popularitas Al-Afghani yang
berkelanjutan terjadi karena dia dipandang berbahaya oleh orang-orang barat.
Namun ada penilaian bahwa pengaruh Al-Afghani lebih berdasarkan pada biografi
yang pada umumnya mitos dan interpretasi atas gagasan-gagasannya.
Letak
kebesaran Al-Afghani bukanlah dia sebagai pemikir, meskipun dalam pemikiran itu
ia tetap sangat penting karena ia menunjukkan pandangan masa depan yang jauh
dan daya baca zaman yang tajam. Kebesarannya terletak terutama dalam
peranannya sebagai pembangkit kesadaran politik umat Islam menghadapi barat,
dan pemberi jalan bagaimana menghadapi arus modernisasi dunia ini.
KESIMPULAN
Dengan
demikian jelas sekali bahwa ide-ide Al-Afghani masih menginspirasi
pemikir-pemikir Islam kontemporer dalam menghadapi tantangan umat Islam
meskipun dalam konteks dan situasi zaman yang telah berbeda.
Dari
pembahasan diataspun dapat disimpulkan bahwa Jamaluddin al-Afghani adalah salah
seorang pemimpin pergerakan Islam pada akhir abad ke -19. Sayyid Sand adalah
ayah Afghani, yang dikenal dengan gelar Shadar Al-Husaini. Ia tergolong
bangsawan terhormat dan mempunyai hubungan nasab dengan Hussein Ibn Ali r.a.,
dari pihak Ali At-Tirmizi, seorang perawi hadits. Oleh karena itu, di depan
nama Jamaluddin al-Afghani diberi title “Sayyid”.
Sebagai
seorang aktivis politik, nampaknya Al-Afghani lebih mantap dalam karya-karya
lisan (pidato) daripada dalam tulisan, sekalipun begitu, karya tulisnya yang
tidak terlalu banyak tetap mempunyai nilai besar dalam sejarah umat di zaman
modern. Tulisan-tulisannya yang tersebar dalam bahasa Arab dan persia telah
mengilhami berbagai gerakan revolusioner Islam melawan penjajahan dan
penindasan barat. Karena pada dasarnya Al-Afghani adalah seorang revolusioner
politik, ia mengemukakan ide-idenya hanya dalam garis besar, berupa
kalimat-kalimat yang bersemangat dan ungkapan-ungkapan kunci, tanpa elaborasi
intelektual yang lebih jauh.
Beliau
merupakan pemikir yang memberikan arti besar bagi perkembangan Islam dimasa
kini maupun nanti, pemikiran-pemikirannya mengenai hak-hak untuk berpendapat
merupakan salah satu pemikirannya yang paling diingat oleh banyak orang.
Dan semua pemikiran-pemikirannya adalah berdasarkan kepercayaannya, yaitu
Islam adalah yang sesuai untuk semua bangsa, semua zaman dan semua keadaan.
Kalau kelihatan ada pertentangan antara ajaran-ajaran Islam dengan kondisi yang
dibawa perbuahan zaman dan perubahan kondisi, penyesuaian dapat diperoleh
dengan mengadakan interpretasi baru tentang ajaran-ajaran Islam seperti yang
tercantum dalam al-Qur’an dan Hadits. Untuk interprestasi itu diperlukan
ijtihad dan pintu ijtihad baginya terbuka. Kemunduran umat Islam bukanlah
karena Islam, sebagaimana dianggap tidak sesuai dengan perubahan zaman dan
kondisi baru. Umat Islam mundur, karena telah meninggalkan ajaran-ajaran Islam
yang sebenarnya.
Dan pada buku Prof. Ahmad Amin dari Kairo yang berjudul Zuma al-Islah, para
penulisnya sepakat bahwa al-Afghani memiliki dua tujuan yang jelas dan pokok
yang menggarisbawahi misinya yang besar :
1) Mengisi semangat baru di Timur sehingga ia menghidupkan
kembali kebudayaan, ilmu pengetahuan, pendidikan, kebersihan agamanya yang
kaya, sehingga membebaskan kepercayaannya dari tahayul, dan menjernihkan moralnya
dari apa yang telah terkumpul di sekitar mereka dan kemudian kembali kepada
kekuasaan dan landasan yang pernah mereka pegang dan miliki.
2)
Melawan dominasi asing (Imperialisme Barat) sehingga
negara-negara Timur dikembalikan kepada kemerdekaannya, yang dperkuat ileh
persekutuan dan pertalian yang mungkin, agar dapat menjaga diri mereka sendiri
terhadap bahaya-bahaya yang datang (yang ditimbulkan oleh Barat)
DAFTAR
BACAAN
·
Mohammad,
Herry, Tokoh-Tokoh Islam Yang Berpengaruh Abad 20, Jakarta : Gema Insani, 2006
·
Muhammad
Iqbal, Pemikiran Politik Islam
0 komentar:
Posting Komentar
Silahkan berkomentar dengan sepuasnya, dipersilahkan menggunakan kata kasar jika diperlukan, tapi saya yakin orang yang bermoral tidak akan menggunakan kata-kata yang kasar, khususnya untuk menghina tanpa dasar logika yang dapat diterima dengan nalar.