Jumat, 21 November 2014

JAMALUDDIN AL-AFGHANI


PENDAHULUAN
            Memasuki abad kesembilan belas, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi modern telah memasuki dunia Islam, oleh karena itu dalam sejarah Islam dipandang sebagai fase permulaan periode modern. Kontak dengan dunia barat mengakibatan  terbawanya ide-ide baru ke dunia Islam seperti rasionalisme, nasionalisme, demokrasi dan sebagainya. Semuanya itu menimbulkan dialektika pemikiran di tengah problematika baru, sehingga pemimpin Islampun mulai memikirkan cara mengatasi persoalan-persoalan baru tersebut.
            Sebagaimana halnya di Barat, di dunia Islam juga timbul pemikiran dan gerakan untuk menyesuaikan paham-paham keagamaan Islam dengan perkembangan baru. Dengan cara itu pemimpin-pemimpin Islam modern mengharap akan dapat melepaskan ummat islam dari suasana kemunduran untuk selanjutnya dibawa kepada kemajuan.[1]
Periode modern (1800 M-dan seterusnya) merupakan zaman kebangkitan Islam. Jatuhnya Mesir ke tangan Barat menginsafkan dunia Islam akan kelemahannya dan menyadarkan umat Islam bahwa di Barat telah timbul peradaban baru yang lebih tinggi dan merupakan ancaman bagi Islam. Raja-raja dan pemuka Islam mulai memikirkan bagaimana meningkatkan mutu dan kekuatan umat Islam kembali. Pada periode inilah timbul ide-ide pembaharuan dalam Islam[2]. Salah satu tokoh modern yang melahirkan ide-ide pembaharuan  dalam Islam ini adalah Jamaluddin Al-Afghani.
[1] Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam : Sejarah Pemikiran dan Gerakan(Jakarta : Bulan Bintang, 1975, cet. ke-1, h. 10.
[2] Ibid, h. 13
[3] Ibid, h. 11
[4] Ali Rahmena (ed), Para Perintis Zaman Baru Islam, (Bandung : Mizan, 1995), cet. ke-1, h. 17


            Jamaluddin Al-Afghani adalah seorang pemimpin pembaharuan dalam Islam yang tempat tinggal dan aktivitasnya berpindah dari satu negara Islam ke negara Islam lain, serta pengaruhnya terbesar ditinggalkannya di Mesir. Dia dikenal sebagai seorang pembaharu politik di dunia Islam pada abad sembilan belas[3]. Ia juga adalah perintis modernisme Islam, khususnya aktivisme anti imperialis. Dia terkenal karena kehidupan dan pemikirannya yang luas, dan juga karena menganjurkan dan mempertahankan sejak 1883, bahwa persatuan Islam merupakan sarana untuk memperkuat dunia muslim menghadapi barat[4]. Dia pula tokoh yang pertama kali menganjurkan untuk kembali pada tradisi muslim dengan cara yang sesuai dengan berbagai problem, mengusik Timur Tengah di abad sembilan belas. Dengan menolak tradisionalisme
murni yang mempertahankan Islam secara tidak kritis disatu pihak, dan peniruan membabi buta terhadap barat di pihak lain. Afghani menjadi perintis penafsiran ulang Islam yang menekankan kualitas yang diperlukan di dunia modern, seperti penggunaan akal, aktivitas politik, serta kekuatan militer dan politik.[5]
            Dalam makalah ini selanjutnya dipaparkan lebih jauh biografi, pemikiran dan perjuangan Jamaluddin al-Afghani serta pengaruh yang ditinggalkannya.























[5] Ibid, h. 18

A.   BIOGRAFI JAMALUDDIN AL-AFGHANI
Sayyid Muhammad bin Safdar al-Husayn (1838 - 1897) umumnya dikenal sebagai Sayyid Jamal-Al-Din Al-AfghaniJamaluddin al-Afghani dilahirkan di As’adabad, dekat Kanar di Distrik Kabul, Afghanistan, pada tahun 1838 (1254 H).[6] Al-afghani menghabiskan masa kecilnya di Afghanistan, namun banyak berjuang di Mesir, India bahkan Perancis. Pada usia 18 tahun di Kabul, Jamaluddin tidak hanya menguasai ilmu keagamaan tetapi juga mendalami filsafah, hukum, sejarah, metafisika, kedokteran, sains, astronomi dan astrologi. [7]
Jamaluddin al-Afghani adalah salah seorang pemimpin pergerakan Islam pada akhir abad ke -19.[8] Sayyid Sand adalah ayah Afghani, yang dikenal dengan gelar Shadar Al-Husaini. Ia tergolong bangsawan terhormat dan mempunyai hubungan nasab dengan Hussein Ibn Ali r.a., dari pihak Ali At-Tirmizi, seorang perawi hadits. Oleh karena itu, di depan nama Jamaluddin al-Afghani diberi title “Sayyid”.[9] Afghani melanjutkan belajar ke India selama satu tahun. Di india Afghani menekuni sejumlah ilmu pengetahuan melalui metode modern. Didorong keyakinannya, ia melanglang buana ke berbagai negara. Dari India, Jamaluddin melanjutkan perjalanan ke mekkah untuk menunaikan ibadah haji. Sepulangnya ke Kabul ia diminta penguasa Afghanistan Pangeran Dost Muhammad Khan, untuk membantunya. Tahun 1864,, ia diangkat menjadi penasehat Sher Ali Khan, dan beberapa tahun kemudian diangkat menjadi Perdana Menteri oleh Muhammad A’zam Khan. Namun karena campur tangan Inggris, Jamaluddin akhirnya meninggalkan Kabul ke Mekkah. Inggris menilai Jamaluddin sebagai tokoh berbahaya karena ide-ide pembaharuannya, terus mengawasinya.[10]
[6] Saiful Hadi, 125 Ilmuwan Muslim Pengukir Sejarah., Jakarta : Insan Cemerlang.
[7] Herry Mohammad, Tokoh-Tokoh Islam Yang Berpengaruh Abad 20, Jakarta : Gema Insani, 2006.
[8] Harun Nasution, Pembaharuan Dalam Islam, Sejarah Pemikiran dan Gerakan, Jakarta : Bulan Bintang, 1975.
            Di tahun 1864 ia menjadi penasihat Sher Ali Khan. Beberapa tahun kemudia ia diangkat oleh Muhammad A’zam Khan menjadi perdana menteri. Ketika itu Inggris sudah ikut campur dalam urusan negeri Afghanistan, maka Jamaluddin termasuk salah satu orang yang menentangnya. Karena kalah melawan Inggris ia lebih baik meninggalkan negerinya dan pergi menuju India pada tahun 1869. Di negeri jiran inipun ia tidak tenang karena karena negeri itu dikuasai oleh Inggris, maka ia pindah ke Mesir pada tahun 1871. Ia menetap di Kairo dan menjauhkan urusan politik untuk berkonsentrasi ke bidang ilmiah dan sastra Arab. Rumah tempat tinggalnya menjadi pusat pertemuan bagi para mahasiswa, diantaranya adalah Muhammad Abduh.[9]
            Di Mesir Al-Afghani dapat mempengaruhi massa intelektual dengan pikiran-pikiran barat antara lain mengenai ide trias politika melalui terjemahan bahasa Arab yang berasal dari bahasa Perancis yang dilakukan oleh At-Tahthawi. Ia berhasil membentuk Partai Nasional (Al-Hizbu al-Watani) di sana dan mendengungkan Mesir  untuk bangsa Mesir, memperjuangkan pendidikan universal, kemerdekaan pers, dan memasukkan unsur-unsur Mesir dalam bidang militer. Al-Afghani berusaha menumbangkan  penguasa Mesir Khadewi Ismail dan menggantikannya dengan putera mahkota, Tawfiq yang ingin mengadakan pembaharuan di Mesir. Ttapi setelah Tauwfik berkuasa, ia tidak dapat melaksanakan programnya, bahkan penguasa baru yang didukung oleh Al-Afghani itu mengusirnya karena tekanan dari pihak Inggris, tahun 1879.
            Pada tahun 1889, Al-Afghani diundang ke Persia untuk suatu urusan persengketaan politik antara Persia dengan Rusia yang timbul karena politik pro-Inggris yang dianut  pemerintah Persia ketika itu. Bersamaan dengan  itu Afghani melihat ketidakberesan politik dalam negeri Persia sendiri. Karenanya dia mengajurkan perombakan sistem politik-nya yang masih otokratis, sehingga timbul pertikaian  antara Al-Afghani dan Syah Nasir al-Din. Pada tahun 1892, undangan yang sama  dari penguasa Turki, Sultan Abdul Hamid, untuk kepentingan  politik Islam Istambul  dalam menghadapi kekuatan Erofa. Menurut Afghani, sebelum menangani politik luar negeri harus dibenahi dahulu sistem politik dalam negerinya. Rupanya, pandangan politik Afghani yang sangat demokratis tidak bertemu dengan kepentingan politik Sultan yang otokratis. Sejak itu sampai akhir hayatnya, 9 Maret 1897, Afghani dicabut izin keluar negerinya.Kelihatannya Jamaluddin Al-Afghani menjadi tamu terhormat kerajaan Turki Usmani tetapi hakikatnya ia menjadi tawanan Sultan Abdul Hamid II yang berdiam di “sangkar emas” istananya. [10]
            Melihat kepada kegiatan politik yang demikian besar dan daerah yang demikian luas, maka dapat dikatakan bahwa Al-Afghani lebih banyak bersifat pemimpin politik daripada pemimpin dan pemikir pembaharuan dalam Islam, tetapi kegiatan yang dijalankan Al-Afghani sebenarnya didasarkan pada ide-idenya tentang pembaharuan dalam Islam.
[10] Herry Mohammad., Op.Cit.

B.   PEMIKIRAN-PEMIKIRAN JAMALUDDIN AL-AFGHANI
            Al-Afghani berpendapat bahwa kemunduran umat Islam disebabkan antara lain karena umat telah meninggalkan ajaran-ajaran Islam yang sebenarnya. Ajaran qada dan qadar telah berubah menjadi ajaran fatalisme yang menjadikan umat menjadi statis. Sebab-sebab lain adalah perpecahan di kalangan umat Islam sendiri, lemahnya persaudaraan antara umat Islam dan lain-lain. Untuk mengatasi semua hal itu antara lain menurut pendapatnya ialah umat Islam harus  kembali kepada ajaran Islam yang benar, mensucikan hati, memuliakan akhlak, berkorban untuk kepentingan umat, pemerintah otokratis harus diubah menjadi demokratis, dan persatuan umat Islam hars diwujudkan sehingga umat akan maju sesuai dengan tuntutan zaman. Ide-ide pembaharuan dan pemikiran politik Al-Afghani tentang negara dan sistem pemerintahan adalah sebagai berikut :
1.    . Bentuk negara dan pemerintahan
           Menurut Al-Afghani, Islam menghendaki bahwa bentuk pemerintahan adalah republik. Sebab, di dalamnya terdapat kebebasan berpendapat dan kepala negara harus tunduk kepada Undang-Undang Dasar. Pendapat seperti ini baru dalam sejarah politik Islam yang selama ini pemikirnya hanya mengenal bentuk khalifah yang mempunyai kekuasaan absulot. Pendapat ini tampak dipengaruhi  oleh pemikiran barat, sebab barat lebih dahulu mengenal pemerintahan republik, meskipun  pemahaman Al-Afghani tidak lepas terhadap prinsip-prinsip ajaran Islam yang berkaitan dengan dengan kemasyarakatan dan kenegaraan.
2.    Sistem Demokrasi
            Di dalam pemerintahan yang absulot dan otokratis tidak ada kebebasan berpendapat, kebebasan hanya ada pada raja/kepala gegara  untuk bertindak  yan tidak diatur oleh Undang-undang. Karena itu Al-Afghani menghendaki agar corak pemerintahan absulot diganti dengan dengan corak pemerintahan demokrasi.
            Pemerintahan demokratis merupakan salah satu identitas yang paling khas dari dari pemerintahan yang berbentuk republik. Demokrasi adalah pasangan pemerintahan republik sebagaimana berkembang di barat dan diterapkan oleh Mustafa Kemal Attaturk di Turki sebagai ganti pemerintahan khalifah. Dalam pemerintahan negara yang demokratis, kepala negara harus mengadakan syura dengan pemimpin-pemimpin masyarakat yang berpengalaman karena pengetahuan manusia secara individual terbatas sekali dan syura diperintahkan oleh Allah dalam Al-Qur’an agar dapat dipraktekkan dalam berbagai urusan.
3.    Pan Islamisme (Solidaritas Islam)
            Al-Afghani menginginkan adanya persatuan umat Islam baik yang sudah merdeka maupun masih terjajah. Gagasannya ini terkenal dengan Pan Islamisme. Ide besar ini menghendaki terjalinnya kerjasama antara negara-negara Islam dalam masalah keagamaan, kerjasama antara kepala negara Islam. Kerjasama itu menuntut adanya rasa tanggungjawab bersama dari tiap negara terhadap umat Islam dimana saja mereka berada, dan menumbuhkan keinginan hidup bersama dalam suatu komunitas serta mewujudkan kesejahteraan umat Islam. Ia menginginkan agar umat Islam harus mengatasi perbedaan doktrin dan kebiasaan permusuhan. Perbedaan sekte tidak perlu menjadi hambatan dalam politik, dan kaum muslimin harus mengambil pelajaran dari contoh Jerman, yang kehilangan kesatuan nasionalnya karena terlalu memandang penting perbedaan agama. Bahkan perbedaan besar dalam doktrin wilayah teluk, antara sunni dan syi’ah, dapat dijembatani sehingga ia menyerukan  kepada bangsa Persia dan Afghan  supaya bersatu, meskipun yang pertama adalah syi’ah dan yang kedua adalah bukan, dan selama masa-masa akhir hidupnya ia melontarkan ide rekonsiliasi umum dari kedua sekte tersebut.
C.   PENGARUH JAMALUDDIN AL-AFGHANI
            Seperti sudah disebutan, Al-Afghani menyuarakan gagasan seperti Pan-Islamisme. Sebenarnya gagasan seperti itu juga pernah disuarakan oleh Usmaniah Muda, tetapi sangat kurang pengaruhnya terhadap bangsa-bangsa yang bahasanya bukan turki. Sedangkan Al-Afghani mempublikasikan tulisan dalam bahasa Arab dan Persia sehingga penulis-penulis terkemudian  banyak menyebutkan  bahwa Al-Afghani merupakan pembaharu internal.
            Ide pembebasan dari kendali barat, merupakan tujuan perjuangan politik Al-Afghani yang paling populer. Ucapan-ucapan Al-Afghani banyak dikutip oleh kaum modernis Islam, nasionalis, maupun Islam kontemporer yang mendukung kebebasan seperti itu. Al-Afghani juga menarik bagi aktivis terkemudian karena  kehidupan politiknya yang luar biasa. Muslim maupun barat pernah memiliki kontak dengan Al-Afghani. Penulis Barat seperti E.G. Brown dan Wilfred Blunt membuat tulisan yang isinya membuat pengakuan dan memuji Al-Afghani semakin memperkuat posisi Al-Afghani di dunia muslim. Fakta bahwa Al-Afghani telah mempesona dan bahkan berdebat dengan orang-orang barat terkemuka membuat sosok Al-Afghani semakin penting di mata intelektual muslim. Akhirnya popularitas Al-Afghani yang berkelanjutan terjadi karena dia dipandang berbahaya oleh orang-orang barat. Namun ada penilaian bahwa pengaruh Al-Afghani lebih berdasarkan pada biografi yang pada umumnya mitos dan interpretasi atas gagasan-gagasannya.
            Letak kebesaran Al-Afghani bukanlah dia sebagai pemikir, meskipun dalam pemikiran itu ia tetap sangat penting karena ia menunjukkan pandangan masa depan yang jauh dan daya baca zaman yang tajam. Kebesarannya terletak terutama dalam peranannya sebagai pembangkit kesadaran politik umat Islam menghadapi barat, dan pemberi jalan bagaimana menghadapi arus modernisasi dunia ini.









KESIMPULAN
Dengan demikian jelas sekali bahwa ide-ide Al-Afghani masih menginspirasi pemikir-pemikir Islam kontemporer dalam menghadapi tantangan umat Islam meskipun dalam konteks dan situasi zaman yang telah berbeda.
Dari pembahasan diataspun dapat disimpulkan bahwa Jamaluddin al-Afghani adalah salah seorang pemimpin pergerakan Islam pada akhir abad ke -19. Sayyid Sand adalah ayah Afghani, yang dikenal dengan gelar Shadar Al-Husaini. Ia tergolong bangsawan terhormat dan mempunyai hubungan nasab dengan Hussein Ibn Ali r.a., dari pihak Ali At-Tirmizi, seorang perawi hadits. Oleh karena itu, di depan nama Jamaluddin al-Afghani diberi title “Sayyid”.
Sebagai seorang aktivis politik, nampaknya Al-Afghani lebih mantap dalam karya-karya lisan (pidato) daripada dalam tulisan, sekalipun begitu, karya tulisnya yang tidak terlalu banyak tetap mempunyai nilai besar dalam sejarah umat di zaman modern. Tulisan-tulisannya yang tersebar dalam bahasa Arab dan persia telah mengilhami berbagai gerakan revolusioner  Islam melawan penjajahan dan penindasan barat. Karena pada dasarnya Al-Afghani adalah seorang revolusioner politik, ia mengemukakan ide-idenya hanya dalam garis besar, berupa kalimat-kalimat yang bersemangat dan ungkapan-ungkapan kunci, tanpa elaborasi intelektual yang lebih jauh.
Beliau merupakan pemikir yang memberikan arti besar bagi perkembangan Islam dimasa kini maupun nanti, pemikiran-pemikirannya mengenai hak-hak untuk berpendapat merupakan salah satu pemikirannya yang paling diingat oleh banyak orang.
Dan semua pemikiran-pemikirannya adalah berdasarkan kepercayaannya, yaitu Islam adalah yang sesuai untuk semua bangsa, semua zaman dan semua keadaan. Kalau kelihatan ada pertentangan antara ajaran-ajaran Islam dengan kondisi yang dibawa perbuahan zaman dan perubahan kondisi, penyesuaian dapat diperoleh dengan mengadakan interpretasi baru tentang ajaran-ajaran Islam seperti yang tercantum dalam al-Qur’an dan Hadits. Untuk interprestasi itu diperlukan ijtihad dan pintu ijtihad baginya terbuka. Kemunduran umat Islam bukanlah karena Islam, sebagaimana dianggap tidak sesuai dengan perubahan zaman dan kondisi baru. Umat Islam mundur, karena telah meninggalkan ajaran-ajaran Islam yang sebenarnya.
Dan pada buku Prof. Ahmad Amin dari Kairo yang berjudul Zuma al-Islah, para penulisnya sepakat bahwa al-Afghani memiliki dua tujuan yang jelas dan pokok yang menggarisbawahi misinya yang besar :    
1)    Mengisi semangat baru di Timur sehingga ia menghidupkan kembali kebudayaan, ilmu pengetahuan, pendidikan, kebersihan agamanya yang kaya, sehingga membebaskan kepercayaannya dari tahayul, dan menjernihkan moralnya dari apa yang telah terkumpul di sekitar mereka dan kemudian kembali kepada kekuasaan dan landasan yang pernah mereka pegang dan miliki.
2)     Melawan dominasi asing (Imperialisme Barat) sehingga negara-negara Timur dikembalikan kepada kemerdekaannya, yang dperkuat ileh persekutuan dan pertalian yang mungkin, agar dapat menjaga diri mereka sendiri terhadap bahaya-bahaya yang datang (yang ditimbulkan oleh Barat)







                                                                                                                






DAFTAR BACAAN
·         Mohammad, Herry, Tokoh-Tokoh Islam Yang Berpengaruh Abad 20, Jakarta : Gema Insani, 2006
·         Muhammad Iqbal, Pemikiran Politik Islam
This entry was posted in :

0 komentar:

Posting Komentar

Silahkan berkomentar dengan sepuasnya, dipersilahkan menggunakan kata kasar jika diperlukan, tapi saya yakin orang yang bermoral tidak akan menggunakan kata-kata yang kasar, khususnya untuk menghina tanpa dasar logika yang dapat diterima dengan nalar.