I.
BIOGRAFI
SINGKAT TAN MALAKA
Tan
Malaka yang bernama asli Sutan Ibrahim Datuk Tan Malaka. Tan Malaka (1894-1949)
adalah tokoh yang cukup kontroversial baik di kalangan akademisi, pergerakan
maupun elit politik di Indonesia dan bahkan di beberapa negara yang pernah
dikunjunginya. Tan Malaka lahir pada
tanggal 2 Juni 1897 di sebuah desa kecil bernama Pandan Gadang, Suliki Sumatra
Barat. Ayahnya seorang mantri kesehatan yang pernah bekerja untuk pemerintah
daerah setempat dan mendapatkan gaji beberapa puluh gulden setiap bulannya.
Sejak
kecil Tan Malaka dididik oleh tuntunan Islam secara ketat, suatu hal lazim
dalam tradisi masyarakat Minangkabau yang amat religius. Saat saat menginjak
usia remaja Tan Malaka telah mampu berbahasa Arab dan menjadi guru muda di
surau kampungnya. Pendidikan agama Islam ini begitu membekas dalam diri Tan
Malaka sehingga kemudian sedikit banyaknya memberikan warna dalam corak
pemikiran Tan Malaka.
Setelah
selesai di sekolah rendah ia menjadi satu-satunya anak muda di kampungnya yang
mendapat kesempatan bersekolah ke Kweekschool di Bukit Tinggi
(1908-1913). Kweekschol dikenal sebagai sekolah raja karena tak tergapai
oleh kaum inlanders merupakan satu-satunya sekolah guru untuk anak-anak
Indonesia di Sumatera Barat. la dikirim bersekolah beradasarkan keputusan rapat
tetua Nagari Pandan Gadang, Suliki. Dalam keputusan rapat dinyatakan jelas pada
suatu kepercayaan tradisional bahwa Tan Malaka pada akhirnya akan kembali untuk
memperkaya alamnya.
Kecerdasan
dan keinginannya yang keras serta perangainya yang sopan mendapatkan perhatian
serius dari seorang guru Belanda bemama Horensma. Horensma menggangap Tan
Malaka sebagai anak angkatnya sendiri. Atas anjuran dari Horensma pula ia
dipromosikan untuk meneruskan sekolah lanjutan di negeri Belanda. Atas biaya
dan jaminan keuangan yang diupayakan oleh "Engkufonds" yaitu semacam
lembaga keuangan para Engku di Suliki dan juga bantuan dari Horensma yang
menyediakan diri sebagai penjamin bagi Tan Malaka untuk melakukan perantauan
yang nantinya berpengaruh besar pada kehidupannya kemudian. Bulan Oktober 1913
Tan Malaka meninggalkan tanah kelahiranya.
Perantauan
bagi seorang individu menurut adat Minangkabau merupakan suatu cara untuk
memenuhi panggilan penyerahan diri pada kebebasan dunia. Dengan meninggalkan
negerinya, seorang individu dapat mengenal kedudukannya sendiri di dalam alam
dan karena pengalaman perantauannya akan dapat berkembang sampai menjadi
anggota dewasa di dalam alam. Tinggal di perantauan merupakan suatu pengorbanan
dan menjadi tugas bagi sang perantau untuk memberikan segala pengetahuan yang
diperolehnya dirantau kepada nagarinya (negeri). Gagasan- gagasan progresif
muncul sebagai kritik atas kebijakan pemerintah kolonial Belanda selanjutnya
menjadi bahasan dalam Majelis Rendah maupun Majelis Tinggi Belanda.
Dampak
dari kebijakan poltik etis yang dikembangkan adalah dimulainya suatu upaya
balas budi terhadap rakyat jajahan yang dikenal dengan program Irigasi atau
pengairan, Transmigrasi atau perpindahan penduduk dan Edukasi atau pendidikan.
Di bidang pendidikan mulai dibuka sekolah-sekolah pemerintah untuk kalangan
pribumi walaupun masih dalam sifat terbatas, merupakan manifestasi dari
politik etis untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat di negeri-negeri jajahan
dan Tan Malaka adalah salah satu orang yang merasakannya.
Di Belanda Tan Malaka masuk Rijkskweekschool sebuah sekolah untuk
mendapatkan gelar diploma guru kepala atau Hoofdakte di
kota
Haarlem. Tan Malaka
memulai hidup baru di negeri
orang dalam kondisi yang jauh berbeda dengan kampung halaman asalnya. Dalam
otobiografi yang ditulisnya ia mengatakan bahwa kehidupan
dinegeri Belanda lebih banyak didekap derita ketimbang suka. Kondisi iklim Belanda
yang jauh berbeda dengan Indonesia membuat kesehatanya merosot,
Sejak itu kondisi sulit terus menerpanya dan berakibat pada
terhambatnya studi Tan Malaka sampai beberapa
tahun. Untuk memulihkan
kesehatanya
Tan Malaka terpaksa pindah ke kota kecil yang berhawa tropis dan sejuk bernama Bussum. Di kota
inilah
pula awal
perkenalan Tan Malaka dengan wacana-wacana progresif, filsafat serta
berbagai peristiwa revolusi di dunia yang saat itu sedang marak di Eropa.
Tan
Malaka
mulai
berkenalan
dengan soal-soal
filsafat, ia banyak
membaca karya-karya Nietzsche seorang filsuf
Jerman. Hasrat intelektualnya membuatnya mulai berkenalan dengan karya-karya Marxisme. la pun mempelajari Het Kapital Karangan Karl
Marx dalam bahasa Belanda, Marxtische Ekonomie karya Karl Kautsky, surat kabar radikal Hel
Volk milik
Partai Sosial Demokrat Belanda serta
brusur-brosur
yang menceritakan perjuangan
dan kemenangan
Revolusi Bolsyhevik Oktober 1917.
Pengalaman Revolusi Bolsyevik di Rusia pasca Perang Dunia I sangat berkesan bagi diri
Tan
Malaka. Revolusi
sosial menumbangkan
kediktatoran Tsar
yang dilakukan
oleh kaum buruh dan sekaligus membuktikan kebenaran teori Karl Marx tentang hancurnya dominasi kapitalisme oleh suatu revolusi sosial.
Tan Malaka kemudian mengganggap dirinya
sebagai seorang
Bolsyevik yang lebih mengerti dan mengutamakan realita bangsanya. Marxisme baginya, bukan dogma melainkan suatu petunjuk untuk revolusi. Oleh karena itu, sikap seorang Marxis perlu
bersikap kritis terhadap petunjuk itu. Sikap kritis itu antara lain sangat ditekankan pada kemampuan untuk melihat perbedaan dalam
kondisi atau faktor sosial dari
suatu
masyarakat dibanding masyarakat-masyarakat lain. Dari
situ akan
diperoleh kesimpulan oleh ahli revolusi di Indonesia yang tentulah berlainan sekali dengan yang diperoleh di
Rusia, yang sama hanya cara atau metode berpikirnya.
II.
PEMIKIRAN
POLITIK TAN MALAKA
Tan
Malaka berniat untuk mengadakan
revolusi sosial
untuk megusir penjajahan keluar dan membersihkan diri
ke dalam agar bangsa
Indonesia memiliki
sejarahnya bangsanya
sendiri. Untuk mewujudkan cita- citanya
tersebut
Tan memiliki
segudang konsep
pemikiran
atau gagasan
yang spektakuler.
·
Ideologi
Tan Malaka
Marxisme akar filsafat Tan Malaka yang
diaktualisasikan kedalam partai murba. Murbaisme adalah formula tepat bagi
keyakinan politik Tan Malaka. Hal itu ditunjukkan ketika revolusi Indonesia
bergolak Tan Malaka tetap berpendapat, ini adalah revolusi nasional Indonesia
dan tidak ada hubungannya dengan perlawanan terhadap fasisme, seperti yang
dipropagandakan oleh kaum komunis. Dalam konteks tersebut revolusi nasional
dilihat semata-mata sebagai bentuk perlawanan terhadap Imperialisme Belanda.
Namun kaum komunis Indonesia tidak berdiri diatas itu, bagi mereka fasisme Jepang
hanyalah merupakan satu tahap dari perkembangan kapitalisme, untuk itu fasisme
harus diperangi. Bagi Tan Malaka sikap fasisme buta adalah bentuk
ke-tidaknasionalisme-an. Bagi Tan Malaka revolusi Indonesia memiliki dua sisi,
revolusi nasional adalah bingkainya dan revolusi sosial adalah isinya. Jadi
revolusi Indonesia tidaklah berhenti pada revolusi politik semata-mata, namun
harus dilanjutkan dengan emansipasi sosial sebagai kelanjutan revolusi
tersebut.
Melaui Madilog (Materialisme, Dialektika, Logika) pula, bisa ditunjukkan bahwa Tan Malaka
berusaha mensintesakan Marxisme dalam konteks ke-indonesia-an, dengan melacak
akar-akar kebangsaan dan kebudayaan masyarakat untuk kemudian diselaraskan
dengan keyakinan politiknya, yaitu Murbaisme. Murbaisme dengan demikian tidak
sama dengan komunisme. Atau lebih enaknya dikatakan Marxis-Nasionalis. Ia
memiliki ciri khas dalam menuangkan ide-ide nasionalisme, yang membedakannya
dengan tokoh-tokh yang lain. Dalam pemikirannya terdapat konvergensi antara
ideologi Marxisme, yang sebenarnya bersifat internasionalis dan mengedepankan
solidaritas kaum buruh sedunia, tanpa dibatasi rasa kebangsaan, dengan ideologi
nasionalisme yang memiliki ciri khas pada Nation State.
Disamping itu, dalam Madilog ia juga memperlihatkan
penghargaannya terhadap Islam. Islam sangat mempengaruhi pola pikir dan
perilakunya. Islam diakuinya sebagai penerang obor dalam hidupnya. Selanjutnya
kalau ia dikatakan seorang komunis, tetapi mengapa ia begitu menekankan aspek
persatuan diantara sesama warga bangsa apapun afiliasi politik maupun
ideologinya, mengapa ia tidak berjuang untuk perjuangan kelas yang menjadi
bagian penting dalam teori Marxis-Leninis. Dan yang lebih mencolok lagi adalah
mengapa ia ber-Tuhan?, hal itu dibuktikannya ketika ibunya sakit, ia sempat
berulang-ulang melantunkan bacaan surat yasin dalam al-qur'an.
·
Dielektika
Tan Malaka
“Madilog” ialah cara berpikir, yang
berdasarkan Materialsime, Dialektika dan Logika buat mencari akibat, yang
berdiri atas bukti yang cukup banyaknya dan tujuan diperalamkan dan di
peramati.
Madilog bukanlah barang yang baru dan
bukanlah buah pikiran Tan Malaka. Madilog ialah pusaka yang dia terima dari
Barat. Bukan pula dimaksudkan diterima oleh otak yang cemerlang seperti tanah
subur menerima tampang yang baik. Tan Malaka mengakui kesederhanaannya dalam
segala-galanya, pembawaan atau talent,
masyarakat, didikan, pembacaan dan kesempatan. Maksud Tan Malaka terutama ialah
buat merintis jalan teman sejawatnya, dengan buku Madilognya, mempersilahkan mempelajari cara berpikir dunia Barat
dengan rendah hati sebagi murid yang jujur dan mata terbuka.
Menurut Tan Malaka dalam bukunya yang
berjudul Madilog (Materialisme, Dialektika, Logika), dialektika mengandung 4
hal :
1.
Waktu
2.
Pertentangan
3.
Timbal
balik dan
4.
Seluk-beluk
(pertalian).
Tan Malaka berusaha menjadi aktor
perubahan melalui materialisme, dialektik dan logika (Madilog) yang merupakan
cara berpikir sebagai bentuk perlawanan atas cara berpikir mistik timur untuk
mengubah masyarakat Indonesia agar berpikir lebih rasional. Menurut Tan Malaka
pikiran manusia bersifat kreatif sehingga manusia itu sendiri dapat mengubah
dirinya sendiri, tetapi pikirannya terlebih dahulu harus logis, realistis dan
dinamis. Untuk mengwujudkan pikiran tersebut maka seseorang harus terdidik,
agar dapat menjadi orang terdidik disanalah dibutuhkan peran sekolah. Kesadaran
bersekolah pada saat itu masih sangat rendah, dengan sendirinya orang-orang
terdidik pada saat itu sangat sedikit. Tan Malaka berpendapat sesuatu tidak
berubah dengan sendirinya harus ada usaha untuk merubahnya.
·
Pandangan
Tan Malaka Tentang Marxisme dan Demokrasi
Diakui sendiri oleh Tan Malaka bahwa
pemikirannya tidak sepenuhnya orisinil tapi mengembangkan konsep sosialis dari
Karl Marx. Namun dari kepekaannya dalam menganalisis perkembangan pola hidup
dalam bermasyarakat itulah yang kemudian harus di apresiasikan oleh para
pencinta ilmu pengetahuan khususnya di Indonesia. Dia percaya bahwa baik sosialisme
maupun demokrasi hanya bisa diwujudkan melalui kekuatan akal dan bukannya
melalui jalan kekerasan. Namun sekaligus diperingatkannya bahwa penggunaan akal
dapat membawa orang kepada pendewaan akal dalam ilmu pengetahuan, suatu hal
yang jelas ditentang oleh tuntutan akal itu sendiri. Dia seakan meramalkan
secara intuitif dialektik
The Evolution of Gaming - DrmCD
BalasHapusFrom the dawn of the 20th century, it was 안성 출장안마 the most expensive and most 밀양 출장샵 important technology we ever had; a 태백 출장샵 thriving ecosystem 상주 출장안마 of video Rating: 4.5 · 14 제천 출장안마 reviews