Jumat, 21 November 2014

ABDURRAHMAN WAHID (GUSDUR)


ABDURRAHMAN WAHID “GUS DUR”
Tokoh ini adalah tokoh Muslim Indonesia dan pemimpin politik yang menjadi Presiden Indonesia yang keempat dari tahun 1999 hingga 2001. Ia menggantikan Presiden B. J. Habibie setelah dipilih oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat hasil Pemilihan Umum anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Daerah Indonesia 1999 (Pemilu 1999). Penyelenggaraan pemerintahannya dibantu oleh Kabinet Persatuan Nasional. Masa kepresidenannya dimulai pada 20 Oktober 1999 dan berakhir pada Sidang Istimewa MPR pada tahun 2001. Tepat 23 Juli 2001, kepemimpinannya digantikan oleh Megawati Soekarnoputri setelah mandatnya dicabut oleh MPR.
Tokoh ini adalah Abdurrahman Wahid atau lebih banyak dikenal dengan nama Gus Dur, Gus Dur adalah mantan ketua Tanfidziyah (badan eksekutif) Nahdlatul Ulama dan pendiri Partai Kebangkitan Bangsa (PKB).

BIOGRAFI SINGKAT ABDURRAHMAN WAHID
Abdurrahman Wahid atau yang akrab dipanggil Gus Dur lahir pada 4 Agustus 1940 di Jombang, Jawa Timur dengan nama lengkap Abdurrahman ad-dakhil putra pertama KH. Wahid Hasyim. Ayahnya adalah menteri agama pertama Indonesia yang juga merupakan putra tokoh pendiri Nahdlatul ulama, yaitu KH. Hasyim Asy’ari. Ia lahir dengan nama Abdurrahman Addakhil. "Addakhil" berarti "Sang Penakluk".[2] Kata "Addakhil" tidak cukup dikenal dan diganti nama "Wahid", dan kemudian lebih dikenal dengan panggilan Gus Dur. "Gus" adalah panggilan kehormatan khas pesantren kepada seorang anak kiai yang berati "abang" atau "mas"
            Waktu kecil, Gus Dur sudah mulai menghafal sebagian isi Al-Quran dan banyak puisi dalam bahasa arab. Ia memulai pendidikannya di sekolah rakyat, Jakarta. Setelah itu ia melanjutkan sekolah ke SMEP di Giwangan Yogyakarta, bersamaan dengan belajar bahasa arab di Pesantren Al-Munawir, Krapyak Yogyakarta di bawah bimbingan KH. Ali Maksum, mantan Rais Am PBNU, dengan bertempat tinggal di rumah KH Junaid, ulama tarjih Muhammadiyah Yogyakarta. Gus Dur secara terbuka pernah menyatakan bahwa ia memiliki darah Tionghoa Abdurrahman Wahid mengaku bahwa ia adalah keturunan dari Tan Kim Han yang menikah dengan Tan A Lok, saudara kandung Raden Patah (Tan Eng Hwa), pendiri Kesultanan Demak.
Tan A Lok dan Tan Eng Hwa ini merupakan anak dari Putri Campa, puteri Tiongkok yang merupakan selir Raden Brawijaya V. Tan Kim Han sendiri kemudian berdasarkan penelitian seorang peneliti Perancis, Louis-Charles Damais diidentifikasikan sebagai Syekh Abdul Qodir Al-Shini yang diketemukan makamnya di Trowulan.
Pada tahun 1964, ia melanjutkan studinya ke Al-Azhar University Kairo Mesir dengan mengambil jurusan Departement of Higher Islamic and Arabic studies. Pada tahun 1963, Wahid menerima beasiswa dari Kementrian Agama untuk belajar Studi Islam di Universitas Al Azhar di Kairo, Mesir. Ia pergi ke Mesir pada November 1963. Meskipun ia mahir berbahasa Arab, Gus Dur diberitahu oleh pihak universitas bahwa ia harus mengambil kelas remedial sebelum belajar Islam dan bahasa Arab. Karena tidak mampu memberikan bukti bahwa ia memiliki kemampuan bahasa Arab, Wahid terpaksa mengambil kelas remedial.[9]
Abdurrahman Wahid menikmati hidup di Mesir pada tahun 1964, ia suka menonton film Eropa dan Amerika, dan juga menonton pertandingan sepak bola. Wahid juga terlibat dengan Asosiasi Pelajar Indonesia dan menjadi jurnalis majalah asosiasi tersebut. Pada akhir tahun, ia berhasil lulus kelas remedial Arabnya. Ketika ia memulai belajarnya dalam Islam dan bahasa Arab tahun 1965, Gus Dur kecewa, ia telah mempelajari banyak materi yang diberikan dan menolak metode belajar yang digunakan Universitas [10].
Di Mesir, Wahid dipekerjakan di Kedutaan Besar Indonesia. Pada saat ia bekerja, peristiwa Gerakan 30 September (G30S) terjadi. Mayor Jendral Suharto menangani situasi di Jakarta dan upaya pemberantasan komunis dilakukan. Sebagai bagian dari upaya tersebut, Kedutaan Besar Indonesia di Mesir diperintahkan untuk melakukan investigasi terhadap pelajar universitas dan memberikan laporan kedudukan politik mereka. Perintah ini diberikan pada Wahid, yang ditugaskan menulis laporan.
Wahid mengalami kegagalan di Mesir. Ia tidak setuju akan metode pendidikan serta pekerjaannya setelah G30S sangat mengganggu dirinya. Pada tahun 1966, ia diberitahu bahwa ia harus mengulang belajar. Pendidikan prasarjana Gus Dur diselamatkan melalui beasiswa di Universitas Baghdad. Wahid pindah ke Irak dan menikmati lingkungan barunya. Meskipun ia lalai pada awalnya, Wahid dengan cepat belajar. Wahid juga meneruskan keterlibatannya dalam Asosiasi Pelajar Indonesia dan juga menulis majalah asosiasi tersebut.
Setelah menyelesaikan pendidikannya di Universitas Baghdad tahun 1970, Abdurrahman Wahid pergi ke Belanda untuk meneruskan pendidikannya. Wahid ingin belajar di Universitas Leiden, tetapi kecewa karena pendidikannya di Universitas Baghdad kurang diakui. Dari Belanda, Wahid pergi ke Jerman dan Perancis sebelum kembali ke Indonesia tahun 1971.
Jika dilacak, dari segi kultural, Gus Dur melintasi tiga model lapisan budaya. Pertama, kultur dunia pesantren yang sangat hirarkis, penuh dengan etika yang serba formal, dan apreciate dengan budaya lokal. Kedua, budaya timur tengah yang terbuka dan keras; dan ketiga, lapisan budaya barat yang liberal, rasional dan sekuler. Semua lapisan kultural itu tampaknya terinternalisasi dalam pribadi Gus Dur mebentuk sinergi. Hampir tidak ada yang secara dominan berpengaruh membentuk pribadi Gus Dur. Ia selalu berdialog dengan semua watak budaya tersebut. Dan inilah barangkali anasir yang menyebabkan Gus Dur selalu kelihatan dinamis dan tidak segera mudah dipahami, alias kontroversi.

PEMIKIRAN SERTA GAGASAN ABDURRAHMAN WAHID

Abdurrahman Wahid adalah tokoh besar yang tidak saja pernah memimpin organisasi keagamaan terbesar di Indonesia, Nahdlatul Ulama, selama tiga periode berturut-turut, sejak 1984-1999, tetapi juga seorang negarawan, pernah menjadi Presiden RI, dan seorang kampium dalam memperjuangkan demokratisasi dan toleransi keagamaan di Indonesia. Komitmen Abdurrahman Wahid terhadap demokrasi, pluralisme, dan hak asasi manusia tidak diragukan lagi. Bahkan, Abdurrahman Wahid banyak menggantungkan harapannya pada demokrasi.
Jika diperhatikan pemikiran politik Abdurrahman Wahid senantiasa didasarkan pada sisi politik Indonesia yang demokratis, sekular dan nasionalis. Bagi Gus Dur, sekularisasi merupakan langkah pertama ke arah masyarakat demokratis yang hanya bisa dibangun secara independen dari demokrasi politik yang sejati. Salah satu keyakinannya adalah apabila Indonesia benar-benar akan menjadi civil society yang demokratis, maka aspirasi politik masyarakat tidak boleh disalurkan melalui agama. Bahkan, dalam amatannya, keterlibatan kelompok-kelompok agama ke dalam politik praktis secara tak terelakkan akan menimbulkan ketegangan-ketegangan sektarian dan polarisasi yang cukup tajam antar berbagai gerakan Islam.
Abdurahman Wahid lebih sering menggunakan ideologi nasional Pancasila ketimbang Islam dalam melegitimasi partispasi politiknya. Abdurraham Wahid menganggap Pancasila sebagai kompromi politik yang memungkinkan semua orang Indonesia hidup bersama-sama dalam sebuah negara kesatuan nasional Indonesia. Menurutnya, tanpa Pancasila, Indonesia akan berhenti sebagai negara.
Telah lama ia berpendapat bahwa umat harus berpegang pada Pancasila. Ia memahami Pancasila sebagai syarat bagi demokratisasi dan perkembangan Islam spiritual yang sehat dalam konteks nasional. Di matanya, Indonesia adalah sebuah negara yang didasarkan pada konsensus dan kompromi, dan kompromi itu inheren dalam Pancasila. Dengan penuh keyakinan, Abdurrahman Wahid berpendapat bahwa pemerintahan yang berideologi Pancasila, termasuk negara damai (dar al-shulh) yang harus dipertahankan. Menurutnya, hal ini adalah cara yang paling realistik secara politik jika dilihat dari pluralitas agama di Indonesia.
Lebih jauh, bagi Abdurrahman Wahid, hal ini sepenuhnya konsisten dengan doktrin keagamaan Islam yang tidak memiliki perintah mutlak untuk mendirikan negara Islam. Islam, tandas Abdurrahman Wahid tidak mengenal konsep pemerintahan yang definitif. Dalam persoalan yang paling pokok, misalnya suksesi kekuasaan, ternyata Islam tidak konsisten; terkadang memakai istikhlâf, bai’at dan ahl al-hall wa al-‘aqdi (sistem formatur). Padahal, dalam pandangan Abdurrahman Wahid, soal suksesi adalah soal yang cukup urgen dalam masalah kenegaraan. “Kalau memang Islam punya konsep, tentu tidak terjadi demikian”.
Tidak adanya bentuk baku sebuah negara dan proses pemindahan kekuasaan dalam bentuk baku yang ditinggalkan Rasulullah, baik melalui ayat al-Qur`an maupun al-Hadits, membuat perubahan historis atas bangunan negara yang ada menjadi tidak terelakkan dan tercegah lagi. Dengan demikian, maka kesepakatan akan bentuk negara tidak bisa lagi dilandaskan pada dalil naqli, melainkan pada kebutuhan masyarakat pada suatu waktu.
Menurut tokoh kelahiran Jombang, Inilah yang menyebabkan mengapa hanya sedikit sekali Islam berbicara tentang bentuk negara. Menurutnya, Islam memang sengaja tidak mengatur konsep kenegaraan. Yang ada dalam Islam hanyalah komunitas agama (kuntum khaira ummatin ukhrijat li al-nâs). Jadi, yang ada khaira ummatin bukan khaira dawlatin, khaira jumhûriyatin, apalagi khaira mamlakatin, kilahnya.
Gus Dur juga menyatakan bahwa, para teoritisi politik yang besar dalam Islam bukanlah mencari pola idealisasi bentuk kenegaraan yang islami, melainkan justru menekankan penggunaan bentuk kenegaraan yang sudah ada. Dalam perspektif ahl al-sunnah wa al-jamâ’ah, pemerintahan ditilik dan dinilai dari segi fungsionalnya, bukan dari norma formal eksistensinya, negara Islam atau bukan. Selama kaum Muslimin dapat menyelenggarakan kehidupan beragama mereka secara penuh, maka konteks pemerintahannya tidak lagi menjadi pusat pemikirannya. Biarkan setiap warga negara menjalankan ajaran agamanya, tanpa intervensi negara. Dan biarkan pula, setiap warga negara menentukan sendiri agama yang hendak dianutnya, tanpa campur tangan pihak manapun.
            Adapun yang mendasari pemikiran Abdurrahman Wahid yaitu, bagaimana mengkombinasikan kesalehan Islam dengan apa yang disebutnya komitmen kemanusiaan. Menurut lelaki kelahiran 4 Agusuts 1940 ini, nilai itu bisa digunakan sebagai dasar bagi penyelesaian tuntas persoalan utama kiprah politik umat, yakni posisi komunitas Islam pada sebuah masyarakat modern dan pluralistik Indonesia. Humanitarianisme Islam pada intinya menghargai sikap toleran dan memiliki kepedulian yang kuat terhadap kerukunan sosial. Dari kedua elemen asasi inilah sebuah modus keberadaan politik komunitas Islam negeri ini harus diupayakan.
Cita ideal yang diperjuangkan Abdurrahman Wahid secara konsisten adalah komitmen terhadap sebuah tatanan politik nasional yang dihasilkan oleh proklamasi kemerdekaan. Bahwa, semua warga negara memiliki derajat yang sama tanpa memandang asal-usul agama, ras, etnis, bahasa dan jenis kelamin. Konsekuensinya, politik umat Islam di Indonesia pun terikat dengan komitmen tersebut. Segala bentuk eksklusifisme, sektarianisme, dan primordialisme politik harus dijauhi. Termasuk disini adalah pemberlakukan ajaran melalui negara dan hukum formal, demikian pula ide proporsionalitas dalam perwakilan di lembaga-lembaga negara. Sebab, tuntutan-tuntutan semacam ini jelas berwajah sektarian dan berlawanan dengan asas kesetaraan bagi warga negara.
Pandangan ini memiliki implikasi yang fundamental dalam konstelasi pemikiran politik Islam di Indonesia, bahkan di dunia Islam umumnya. Pemikiran Abdurrahman Wahid ini dipandang lebih radikal ketimbang pandangan politik Nurcholish Madjid yang sudah dikatakan liberal. Akar modernisme Islam masih cukup kuat berkecambah dalam pemikiran Nurcholish sehingga jika disimak dengan seksama ide pembentukan sebuah masyarakat Islam masih diterimanya, paling kurang sebagai sebuah masyarakat yang dibayangkan (immagined community). Dalam hal ini, tentu saja, wawasan kebangsaan dan kapasitas toleransi yang tinggi terhadap yang lain akan disyaratkan. Konsesi semacam itu pasti akan ditolak oleh Abdurrahman Wahid sebab ia masih belum bergerak jauh dari pemahaman eksklusif. Oleh karenanya, pemahaman ini tidak mampu menjamin terhapusnya hasrat dan ambisi sektarian dalam batang tubuh umat. Dalam soal komitmen terhadap asas kesetaraan ini, umat Islam harus benar-benar total. Karena tanpa itu, kecurigaan dari luar dan sikap-sikap sektarian dari dalam tak mungkin bisa dihapuskan.
Abdurrahman Wahid sepenuhnya berpegang pada gagasan negara sekular yang memposisikan warga negara yang berasal latar belakang berbagai agama memiliki hak-hak yang sama. Ia dengan lantang menolak konsep “riddah” seperti yang tercantum dalam sejumlah literatur fikih konvensional. Ia dengan gigih menentang setiap upaya untuk memasukkan ketetapan hukum Islam ke dalam kitab undang-undang hukum pidana di Indonesia. Bahkan, ia menyebut penerapan hukum pidana Islam di Malaysia merupakan kegairahan untuk “kembali ke zaman kegelapan”.
Gagasan kontroversial seperti ini agaknya secara sadar dimunculkan oleh Abdurrahman Wahid agar tidak terjadi diskriminasi dan penomorduaan sekelompok anggota warga bangsa di bumi Indonesia yang plural (ta’addudy) ini. Sebab, menurut keyakinannya, diskriminasi apalagi hegemoni terhadap sekelompok warga negara secara telanjang jelas bertentangan dengan prinsip-prinsip demokrasi yang tanpa lelah diperjuangkannya. Baginya, demokrasi adalah salah satu nilai fundamental yang ada dalam Islam. Yang penting, menurut Abdurrahman Wahid, adalah memperjuangkan nilai-nilai Islam, bukan universum formalistiknya. Dengan memperjuangkan nilai-nilai yang ada dalam Islam, maka Abdurrahman Wahid bisa mengatakan bahwa dia sedang memperjuangkan Islam. Di mata Abdurrahman Wahid, Islam hanya dilihat sebagai sumber inspirasi-motivasi, landasan etik-moral, bukan sebagai sistem sosial dan politik yang berlaku secara keseluruhan. Dengan kata lain, Islam tidak dibaca dari sudut verbatim doktrinalnya, tetapi coba ditangkap spirit dan rohnya. Islam dalam maknanya yang legal formal tidak bisa dijadikan sebagai ideologi alternatif bagi cetak biru negara bangsa Indonesia. Islam merupakan faktor pelengkap di antara spektrum yang lebih luas dari faktor-faktor lain dalam kehidupan bangsa. Walhasil, visi Abdurrahman Wahid tentang Indonesia masa depan adalah sebuah Indonesia yang demokratis, misalnya adanya kedudukan yang sama bagi semua warga negara dari berbagai latar belakang agama dan etnis manapun; mempunyai hak dan kewajiban yang sama.

SUMBER
This entry was posted in :

0 komentar:

Posting Komentar

Silahkan berkomentar dengan sepuasnya, dipersilahkan menggunakan kata kasar jika diperlukan, tapi saya yakin orang yang bermoral tidak akan menggunakan kata-kata yang kasar, khususnya untuk menghina tanpa dasar logika yang dapat diterima dengan nalar.