Selasa, 01 April 2014

MASA REVOLUSI FISIK 1945-1950

REVOLUSI FISIK 1945-1950
    Pada tahun 1945 Indonesia telah mendaulatkan dirinya menjadi Negara yang merdeka namun, pada saat itu kedaulatan serta persatuan Indonesia masih saja terus diuji oleh serangan-serangan dari luar negeri, seperti halnya pemerintah Belanda yang masih mencoba mengancam wilayah dan persatuan Indonesia dengan mencoba mengirimkan pasukan tentara NICA, namun kali ini Belanda bersukutu dengan Inggris. Kedatangan Belanda-Inggris itu banyak ditanggapi oleh masyarakat Indonesia dengan berbagai macam reaksi perlawanan. Sejak tahun 1945 sampai dengan 1950 telah banyak terjadi perlawanan-perlawanan, tejadi berbagai perang antara masyarakat Indonesia dengan pasukan Belanda serta pasukan Inggris yang bersukutu dengan Belanda.
Mengenai jalannya revolusi di Indonesia, Ricklefs (1991:317) menyampaikan bahwa revolusi yang menjadi alat tercapainya kemerdekaan bukan hanya merupakan suatu  kisah sentral dalam sejarah Indonesia, melainkan suatu unsur yang kuat dalam persepsi bangsa Indonesia itu sendiri. Semua usaha yang tidak menentu untuk mencari identitasi-identitas baru dan untuk suatu tatanan sosial yang lebih adil tampaknya membuahkan hasil pada masa-masa sesudah Perang Dunia II.
Masa revolusi fisik dalam keyakinan banyak pihak dianggap sebagai suatu zaman yang merupakan kelanjutan dari masa lampau. Bagi para Pemimpin Revolusi Indonesia, revolusi bertujuan untuk melengkapi dan menyempurnakan proses penyatuan dan kebangkitan nasional yang telah dimulai empat dasawarsa sebelumnya (Ricklefs, 1991:318). Akan tetapi penyatuan nasional itu sendiri sebenarnya masih belum bisa tercapai selama masa revolusi fisik. Mengenai ketidaktercapaian persatuan nasional tersebut, Ricklefs (1991:319) mengemukakan bahwasanya sistem perhubungan yang buruk, perpecahan-perpecahan internal, lemahnya kepemimpinan pusat, dan perbedaan kesukuan mengandung arti bahwa sebenarnya revolusi tersebut merupakan satu kejadian yang terpotong-potong.
Selama masa revolusi fisik (1945-1950) Indonesia berada dalam kondisi “darurat perang”. Kondisi-kondisi seperti inilah yang secara langsung maupun tidak langsung berpengaruh terhadap perkembangan kehidupan sosial dan budaya masyarakat Indonesia selama masa revolusi fisik. Ketidakstabilan kehidupan sosial muncul di berbagai tempat diwilayah Indonesia.
Indonesia sudah menyatakan dirinya sebagai negara merdeka. Namun, hal itu bukan berarti keadaan dalam negeri menjadi tenang. Kemerdekaan itu harus dipertahankan dari ancaman pihak asing. Untuk mempertahankan kemerdekaan, Pemerintah Indonesia menempuh dua cara, yakni perjuangan diplomasi dan perjuangan bersenjata. Perjuangan diplomasi melahirkan beberapa perjanjian, sedangkan perjuangan bersenjata mengakibatkan terjadinya berbagai pertempuran di berbagai wilayah Indonesia.
Seperti yang diyakini oleh banyak orang bahwa Masa revolusi fisik dianggap sebagai suatu zaman yang merupakan kelanjutan dari masa lampau, maka pertempuran di Surabaya pada tanggal 10 november 1945 yaitu melawan sekutu tidak lepas kaitannya dengan peristiwa yang mendahuluinya, seperti usaha perebutan kekuasaan dan senjata dari tangan Jepang yang dimulai sejak tanggal 2 September 1945. Perebutan kekuasaan dan senjata yang dilakukan oleh para pemuda berubah mejadi situasi revolusi yang konfrontatif antara pihak Indonesia dengan Sekutu. Pertempuran di Surabaya membuka jalan bagi diadakannya perundingan-perundingan diplomatik selama tahun 1946 dan awal tahun 1947 antara Belanda dan Indonesia. Surabaya menjadi ajang pertempuran yang paling hebat selama revolusi, sehingga menjadi lambang perlawanan nasional. Masih banyak lagi pertempuran yang terjadi pada era revolusi fisik dianatranya perang ambarawa, Bandung lautan api, pertempuran Medan area, Peristiwa Merah Putih Manado, serta pertempuran Mragarana dsb.
Meski kemerdekaan Indonesia telah diproklamasikan, Belanda tetap saja tidak mau mengakui kelahiran Negara Indonesia. Belanda ukmasih ingin menguasai wilayah Indonesia. Masa- Masa revolusi fisik merupakan masa yang cukup berat bagi Indonesia karena disamping harus berjuang mempertahankan keadu\aulatan Negara haurs juga berjuang mewujudkan Negara kesartuan Republik Indonesia. Wilyah Indonesia telah dipecah-pecah oleh Belanda, oleh karena itu bangsa Indonesia berjuang untuk merebut kembali wilayah yang menjadi miliknya melalui perjuangan diplomasi maupun angkat senjata. Pihak Belanda bersedia melakukan beberapa perundingan diantaranya perjanjian, Roem royan, Konferensi Inter-Indonesia, konferensi Meja Bundar dan Pengakuan Kedaulatan serta Peran Perserikatan Bangsa-Bangsa dalam penyelesaian konflik Indonesia-Belandadengan Indonesiaa setelah Indonesia merpertahankan dengan gigih wilayah Negara kesatuan Republik Indonesia.
Dengan pengakuan kedaulatan tanggal 27 desember 1949, maka berakhirlah masa revolusi bersenjata di Indonesia dan secar de jure pihak Belanda telah mengakui kemerdekaan Indonesia dalam bentuk RIS. Namun atas kesepakatan rakyat Indonesia tanggal 17 agustus 1950, RIS dibubarkan dan dibentuk NKRI. Selanjutnya pada tanggal 28 september 1950, Indonesia di terima menjadi anggota PBB yang ke-60. Hal ini berarti bahwa kemerdekaan Indonesia secara resmi telah di akui oleh dunia internaisonal.

ERA DEMOKRASI LIBERAL 1950-1959
Pada tahun 1950 NKRI mempergunakan Undang-Undang Dasar Sementar (UUDS) atau juga disebut UUD 1950. Berdasrakan UUD tersebut pemerintahn yang dilakukan oleh cabinet sifatnya parlementer, artinya cabinet bertanggung jawab pada parlemen, jatuh bangunnya suatu cabinet bergantung pada dukungan anggota parlemen. Cirri utama masa demokrasi liberal adalah sering bergantinya cabinet, hal ini disebabkan karena jumlah partai yang cukup banyak, tetapi tidak ada partai yang memilik mayoritas mutlak. Setiap Kabinet terpaksa didukung oleh sejumlah partai berdasarkan hasil usaha pembentukan partai (kabinet Formatur). Bila dalam perjalananya kemudian salah satu partai pendukung mengundurkan diri dari kabinet, maka kabinet akan mengalami krisis cabinet. Presiden hanya menunjuk seseorang untuk memnentuk kabinet , kemudian etelah berhasil, maka kabinet dilantik oleh Presiden.
    Suatu kabinet dapat berfungsi bila memperoleh kepercayaan dari parlemen, dengan kata lain ia memperoleh mosi percaya. Sebaliknya, apabila ada sekelompok anggota parlemen kurang setuju ia akan mengajukan mosi tidak percaya yang dapat berakibat krisis kabinet. Selama sepuluh tahun (1950-1959) ada tujuh kabinet, sehingga rata-rata satu kabinet hanya berumur satu setengah tahun. Kabinet-kabinet. Selama sepuluh tahun (1950-1959) ada tujuh kabinet, sehingga rata-rata satu kabinet hanya berumur satu setengah tahun. Kabinet-kabinet tersebut ialah :
1.    Kabinet Natsir (7 September 1950 – 21 Maret 1951)
2.    Soekiman (27 April – 23 Februari 1952)
3.    Willop (3 April – 3 Juni 1953)
4.    Ali- Wongso (1 Agustus – 24 Juli 1955)
5.    Burhanuddin Harahap ( 12 Agustus 1955 – 3 Maret 1956)
6.    Ali Sastroamijoyo II (20 Maret 1956 – 4 Maret 1957)
Program kabinet pada umumnya tidak dapat diselesaikan. Mosi yang diajukan untuk menjatuhkan kabinet lebih mengutamakan merebut kedudukan partai daripada menyelamatkan rakyat. Sementara para elit politik sibuk dengan kursi kekuasaan, rakyat mengalami kesulitan karena adanya berbagai gangguan keamanan dan beratnya perekonomian ysng menimbulkan labilnya sosial-ekonomi.
Terdapat beberapa kelebihan yang dimiliki pada masa pelaksanaan demokrasi parlemen,yaitu:
1.    Berkembangnya partai politik pada masa tersebut. Pada masa ini, terlaksana pemilihan umum pertama di Indonesia untuk memilih anggota konstituante. Pemilu tahun 1955 merupakan pemilu multipartai. Melalui pelaksanaan pemilu, berarti negara telah menjamin hak politik warga negara.
2.    Tingginya akuntabilitas politik.
3.    Berfungsinya parlemen sebagai lembaga legislatif.
Adapun kegagalan pelaksanaan demokrasi liberal adalah:
1.    Dominannya kepentingan partai politik dan golongan sehingga menyebabkan konstituante digunakan sebagai ajang konflik kepentingan.
2.    Kegagalan konstituante menetapkan dasar negara yang baru.
3.    Masih rendahnya tingkat perekonomian masyarakat. Akibatnya, masyarakat tidak tertarik untuk memahami proses politik.Kegagalan sistem parlementer dibuktikan dengan kegagalan parlemen menyusun konstitusi negara. Sidang konstituante mampu memenuhi harapan bangsa Indonesia. Hingga
akhirnya, Presiden Sukarno mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang berisi:
a. menetapkan pembubarkan konstituante,
b. menetapkan UUD 1945 berlaku kembali dan tidak berlakunya UUDS 1950,
c. pembentukan MPRS dan DPAS.


0 komentar:

Posting Komentar

Silahkan berkomentar dengan sepuasnya, dipersilahkan menggunakan kata kasar jika diperlukan, tapi saya yakin orang yang bermoral tidak akan menggunakan kata-kata yang kasar, khususnya untuk menghina tanpa dasar logika yang dapat diterima dengan nalar.